Dari Klik Pertama ke Kontribusi Nyata: Kisah Haikal dan Pajak di Era Digital

 Haikal, mahasiswa semester lima jurusan Informatika, belakangan merasa hidupnya seperti balapan tanpa garis finish. Tugas kuliah menumpuk, proyek kelompok sering molor, dan jadwal magang bentrok dengan kuliah inti. Masalah klasik pun tak pernah absen: uang bulanan dari orang tua selalu habis lebih cepat dari rencana.

“Gimana caranya bisa bertahan di zaman serba digital ini?” gumamnya suatu malam sambil menatap layar laptop penuh tab terbuka.

Malam itu, Haikal iseng mencari cara menambah penghasilan. Ia pernah mendengar cerita teman-temannya yang menjual karya digital filter media sosial, desain poster, hingga editing video. Dengan modal laptop tua dan aplikasi gratis, ia memberanikan diri mengunggah desain sederhana ke media sosial. Tak disangka, ada yang langsung tertarik memesan jasanya.

Pesanan pertama itu memberi semangat baru. Malam-malam Haikal yang biasanya hanya dipenuhi tugas kuliah kini berganti dengan lembur membuat desain. Uang tambahan memang tidak banyak, tapi cukup membuatnya tersenyum lega.

Namun, ada hal yang mulai mengusik pikirannya. Beberapa kali ia membaca berita tentang pemerintah yang gencar mengajak anak muda taat pajak, khususnya di bidang digital. Berita itu sering ia abaikan, tapi sesekali muncul rasa ragu.

“Ah, usahaku kecil. Masa iya harus mikirin pajak juga?” pikirnya, mencoba menepis keresahan itu.

Keraguan itu terbawa hingga suatu hari kampusnya mengadakan kuliah tamu tentang ekonomi digital. Aula dipenuhi mahasiswa dari berbagai jurusan. Seorang dosen tamu, pakar perpajakan, berdiri di depan dengan suara tegas.

“Anak muda sekarang jangan hanya kreatif mencari cuan. Kalian juga harus paham kewajiban pajak. Negara ini berdiri bukan dari teknologi semata, tetapi dari kesadaran warganya,” ucapnya.

Kata-kata itu menghantam Haikal. Ia mendengarkan lebih serius. Sang dosen menjelaskan bahwa bisnis digital sekecil apa pun tetap dianggap penghasilan yang diatur undang-undang. Bahkan ada fasilitas bagi UMKM dengan tarif lebih ringan. Sejak 2022, pemerintah memberi insentif: omzet sampai Rp500 juta per tahun tidak dikenakan PPh Final 0,5%. Bagi mahasiswa atau pemula seperti Haikal, aturan ini jelas memberi napas lega.

Malamnya, Haikal membuka situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. Ia membaca pelan-pelan, mencoba memahami istilah asing. Ternyata tidak serumit yang ia bayangkan. Ada aplikasi resmi yang bisa dipakai untuk melaporkan pajak secara online.

Di sela membaca, ia juga menemukan informasi baru: sejak 1 April 2022, tarif PPN naik menjadi 11%. Hal ini tidak hanya berlaku saat berbelanja di toko atau supermarket. Dalam aktivitas digital pun, pajak juga hadir.Pajak nggak cuma ada waktu kita belanja di toko atau supermarket. Dalam aktivitas digital sehari-hari pun, pajak ikut menyertai. Contohnya saat bayar langganan aplikasi hiburan atau kerja online, seperti Netflix, Spotify, Disney+ Hotstar, atau bahkan Zoom.

“Berarti kita ini udah ikut bayar pajak lewat digital, ya?” gumamnya.

Meski begitu, rasa takut masih ada. “Kalau salah isi gimana? Kalau malah kena denda?” pikirnya.

Keesokan harinya, ia bercerita pada Arif, kakak tingkat yang sudah lebih dulu berbisnis digital.

“Kal, jangan nunggu usahamu besar baru mikirin pajak,” kata Arif sambil menyeruput kopi.

“Kalau dari awal udah disiplin, nanti pas berkembang lebih gampang ngurusnya.”

Ucapan itu menenangkan, meski Haikal tetap ragu. Beberapa malam ia bolak-balik membuka aplikasi pajak, lalu menutupnya lagi. Hingga akhirnya, dengan panduan Arif, ia mencoba mengisi SPT online. Saat tombol terakhir ditekan, muncul notifikasi: “Laporan Anda berhasil diterima.”

Tangannya sedikit gemetar, tapi dadanya lapang. Haikal merasa beban berat terangkat.

Seiring waktu, usaha Haikal berkembang. Klien datang dari berbagai kota, bahkan ada dari luar negeri. Ia mulai mempekerjakan dua temannya untuk membantu editing. Semakin jauh ia melangkah, semakin ia sadar bahwa taat pajak bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga cara menjaga usaha agar tetap legal.

Suatu sore, Haikal melewati jalan dekat kampus yang baru saja diperbaiki. Jalannya lebih lebar, trotoar rapi, lampu jalan terang. Ia teringat ucapan dosen tamu: “Pembangunan yang kalian nikmati itu bukan hadiah, melainkan hasil gotong royong dari pajak rakyat.”

Haikal tersenyum kecil. Ia tahu, setiap rupiah pajak punya arti. Bahkan dalam APBN 2025, lebih dari 70% penerimaan negara bersumber dari pajak. Dari sana, gaji guru, beasiswa mahasiswa, hingga pembangunan jalan yang ia lalui berasal.

Beberapa minggu kemudian, Haikal nongkrong bersama teman-temannya di kafe. Obrolan awalnya ringan: tren aplikasi baru, game online, peluang bisnis digital. Lalu, dengan percaya diri, ia membuka topik berbeda.

“Kita ini generasi digital. Jangan cuma jago bikin konten atau jualan online,” katanya.

“Kalau nggak ngerti pajak, kita sendiri yang rugi. Pajak itu bukan sekadar kewajiban, tapi bukti kita peduli.”

Teman-temannya terdiam. Riko, yang sibuk jualan merchandise online, bertanya, “Serius, Kal? Emang nggak ribet ngurus pajak online?”

“Awalnya kupikir ribet,” jawab Haikal. “Tapi ternyata ada aplikasi resmi yang simpel banget. Aku bahkan bisa isi laporan sambil nunggu dosen masuk kelas. Bahkan, langganan Netflix atau Spotify kita aja udah kena PPN 11%. Jadi, sebenernya kita udah ikut kontribusi, tinggal ditambah kesadaran buat lapor penghasilan juga.”

Obrolan itu panjang. Malam itu, Haikal merasa pengalamannya bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, tapi juga bisa menginspirasi orang lain. Ia tak menyangka, kebingungan pribadinya bisa berubah jadi cerita berharga.

Di perjalanan pulang, ia merenung. Menurutnya, masa depan pajak di era digital bukan lagi soal rumit atau tidaknya aturan. Yang lebih penting adalah keberanian anak muda untuk jujur, peduli, dan berkontribusi.

Sesampainya di kos, ia membuka laptop. Notifikasi lama dari aplikasi pajak masih terpampang: “Laporan Anda berhasil diterima.” Ia menatapnya lama, lalu tersenyum.

Bagi sebagian orang, itu hanya pesan sistem. Tapi bagi Haikal, itu tanda awal dari perannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab peran yang sama pentingnya dengan statusnya sebagai mahasiswa maupun pengusaha digital.

Malam itu, sebelum tidur, Haikal merasa hidupnya sedikit lebih teratur. Bukan karena semua masalah selesai, melainkan karena ia tahu: menjadi generasi digital berarti juga siap ikut membangun negeri, bahkan lewat sesuatu yang sederhana bernama pajak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serunya Membahas Seputar Game

Keindahan Parawisata Bali